Life is once and it goes on

5.1.15

Rafilus - Budi darma

Gambar diambil sembarangan dari Google, tapi yang saya baca memang edisi ini.


Judul: Rafilus
Pengarang: Budi Darma
Penerbit: Jalasutra Yogyakarta
Tebal Buku: 239 halaman
Tahun Terbit: 2008
Genre: Novel Fiksi Absurd

Di sampul dalam buku ini tertulis 271210. Itu artinya buku ini saya beli tepat pada 27 Oktober 2010. Dan hari ini 5 Januari 2015 saya baru menulis reviewnya. Novel ini telah 4 tahun lebih berkarat di rak lemari tanpa saya sentuh. Gobloknya saya, duh...

Saya ingat betul kalimat dosen pembimbing saya pak Khoiri di sebuah kelas, katanya "Rafilus mati dua kali". Kalimat awal sebuah novel yang membawa debar itu diulang-ulang terus sepanjang pertemuan. Pada awalnya saya mengira itu hanyalah tangkapan atau hasil pemikiran pak Khoiri semata, namun ternyata sang penulisnyalah yang menularkan debar itu kepada semesta pembaca. Pada akhir novel pak Budi Darma menjelaskan bahwa "Rafilus mati dua kali" adalah sebuah abstaksi yang menjadikan beliau memiliki obsesi untuk menuliskan novel ini, bahkan di tengah kesibukannya dalam pekerjaan lain. Dalam pemikiran saya hal tersebut adalah "momen puitik" seperti yang disampaikan oleh Umar Fauzi Ballah pada kelas Puisi beberapa waktu yang lalu. Menurutnya momen puitik hadir kapan saja, di mana saja, oleh apa saja, dan barang tentu harus segera dieksekusi atau minimal ditulis kasar agar tidak menguap bersama ingatan kita yang terbatas.


Barangkali demikianlah penulis hebat bekerja. Prof Budi Darma tidak bisa membiarkan abstraksi (momen puitik)-nya musnah begitu saja. Dengan sempoyongan beliau merampungkan Rafilus dan tidak bisa tidak diakui novel ini membuat kita menelan ludah. "Orang gila mana yang sanggup menulis seperti ini"

Rafilus berdiri sendiri di antara jajaran fiksi yang booming pada masyarakat kita (walau tidak sebooming karya pop, novel ini diperhitungkan di dunia sastra Indonesia) Novel ini absurd. Kisah ini hampir hampir tidak memiliki jalan cerita, melainkan temponya sangat lambat (penulis sudah menyampaikannya pada bab Exordium) Tapi hal ini tidak menyurutkan minat saya untuk merampung-bacakan novel ini.

Bahasa yang digunakan cenderung sarkastik dan lebih banyak mengulang kata tidak untuk menyebutkan sesuatu yang bernada positif. Walaupun begitu penulisannya terasa jujur, mengalir dan tidak dibuat-buat. Jarang kita menemui ada fiksi yang menyertakan catatan kaki, tapi pada Rafilus pembaca menemukannya. Anehnya saya sebagai pembaca sama sekali tidak merasa terganggu apalagi merasa digurui dengan informasi tambahan itu. 

Berbeda sekali dengan catatan kaki yang dibuat oleh Andrea Hirata pada tetralogi Laskar Pelanginya. Pada tetralogi itu jelas terasa catatan kaki diadakan semata agar pembaca menangkap kesan bahwa novel itu mengandung sains yang hebat. Demikian juga penulisnya pastilah hafal semua sains hebat yang ditulisnya di luar kepala. Tapi Prof Budi Darma tidak demikian. Catatan kaki dalam Rafilus adalah sebuah proses dalam penulisan Rafilus sendiri yang diberi-intipkan oleh penulisnya kepada pembaca. Pengetahuan seputar bagaimana sebuah karya sastra ditulis harusnya mutlak menjadi rahasia penulisnya, tanpa pembacanya perlu cawe-cawe (ikut-ikut). Pada Rafilus pembaca disuguhi proses abstaksi itu berlangsung, seolah penulis ingin mengajak pembaca merasakan bagaimana kisah Rafilus itu ditulis.

Walaupun novel ini menggunakan sudut pandang orang pertama yakni Tiwar sebagai narator, tapi Rafilus tidak kehilangan alur dan kepekaan pada setiap kejadian. Melalui mulut Tiwar pembaca dapat mengetahui bagaimana jalan pikiran masing masing tokoh berlangsung. Kerap suatu keadaan diceritakan berulang dengan sudut pandang yang berbeda dari tokoh yang berbeda. Namun tetap saja semua itu diceritakan oleh Tiwar. Meskipun kisah yang ditulis-ulang oleh Tiwar tidak menghilangkan apapun dari yang terjadi sebenarnya.

Saya rasa dari membaca Olenka (belum rampung) dan Rafilus saya menemukan gaya kepenulisan Prof Budi Darma. Beliau selalu menggunakan kata "sampeyan" sebagai kata ganti orang kedua. Selalu menyelipkan beberapa kosakata Jawa (namun tidak banyak). Saya kurang mengerti pola pikir Guru Besar Unesa ini. Bila kita membaca Markesot karya Cak Nun, maka kita akan menemukan nuansa kejawaan yang kental bersama dengan hadirnya kosakata Jawa itu. Namun tidak demikian dengan tulisan milik Profesor ramah ini. Tidak ada kesan 'njawani' dalam Rafilus padahal settingnya juga masih di Surabaya. Entah Rafilus dan Olenka ditulis dengan cara apa.

Usai merampungkan Rafilus saya sedikit paham bagaimana ilmu membuat orang tampil cerdas dan melahirkan karya-karya cerdas. Persoalan instrinsik dalam Rafilus tidak perlu saya jelaskan panjang lebar, toh novel ini absurd. Tokoh tokoh yang diceritakannya bukan dikerjakan dengan sekenanya, melainkan demikianlah mereka hidup dalam dunia Rafilus

Selain itu satu hal lagi yang saya kagumi adalah setting tempat yang digunakan. Prof Budi Darma begitu detail menerangkan setiap wilayah yang diceritakan. Surabaya tahun 80an menjadi latar yang kokoh untuk menyanggah setiap jengkal kehidupan tokoh-tokohnya. Tidak berlebihan. Setiap tempat mengandung kisah dari tokoh, kemudian tempat yang sama diceritakan dengan cara berbeda oleh tokoh lain. Lantas cerita baru terjadi pula dengan menakjubkan di tempat yang sama. Demikian seterusnya seperti halnya bagaimana sudut pandang dan plot diperlakukan. Segala unsur intrinsik novel ini diberdayakan dengan maksimal, walau tidak mungkin tidak absurd.

Tulisan saya semakin kacau. Saya tidak tahu apa yang harus saya tulis lagi atas novelnya. Tapi ini maha karya yang indah dari Prof Budi Darma. Saya patut mengapresiasi tinggi-tinggi. Juga menirunya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar